Selasa, 03 Desember 2013

tugas 3 ( iklan dalam etika dan estetika )



Nama : Puji Lestari

NPM : 19210521

Kelas : 4EA17



Tugas ke-3 softskill etika dalam bisnis

( Iklan Dalam Etika Dan Estetika )



ABSTRAK



Puji Lestari. 19210521

IKLAN DALAM ETIKA DAN BISNIS

Tugas softskill. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma 2013

Kata kunci : Iklan. Etika. Estetika. Bisnis

Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Periklanan hampir apriori disamakan dengan tidak bisa dipercaya. Tentu saja, pembohongan, penyesatan, dan penipuan merupakan perbuatan yang sekurang-kurangnya tidak etis. Karena itu dalam mpembahasan ini harus kita selidiki secara khusus hubungan periklanan dan kebenaran.

Daftar Pustaka




BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Periklanan atau reklameadalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Kenyataan ini berkaitan erat dengan cara berproduksi indrustri modern yang menghasilkan produk-produkdalam kuantitas besar, sehingga harus mencari pembeli. Dan pasti ada kaitannya juga dengan sistem ekonomipasar, dimana kompetisi dan persaingan merupakan unsur hakiki. Iklan ustru dianggap cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam ekonomi subsistensi agraris dulu dan juga dalam ekonomi berencana komunistis dari abad ke-20 tidak dirasakn kebutuhan akan periklanan besar-besaran, walaupun dalam sistem ekonomi apa pun diperlukan metode untuk memperkenalkan produknya, sekurang-kurangnya memberitahukan tersedia tidaknya produk-produk. Dengan meningkatnya keramaian ekonomis, cakupan dan intensitas periklanan akan bertambah pula dan sebaliknya dalam keadaan resesi ekonomi kegiatan reklame akan berkurang. Dalam perkembangan periklanan, media komunis modern—media cetak maupun elektronis, tapi khususnya televisi—memegang peranan dominan fenomena periklanan ini menimbulkan pelbagai masalah yang berbeda. Mungkin tidak ada kegiatan bisnis lain yang berhadapan dengan begitu banyak kritik dan tanda tanya seperti periklanan. Dari segi ekonomi di pertanyakan apakah periklanan—sebagaimana dipraktekkan sekarang ini dan menghabiskan biaya besar sekali—pada dasarnya tidak merupakan pemborosan saja, karena tidak menambah sesuatu pada produk dan tidak meningkakan kegunaan bagi konsumen. Bahkan harus dikatakan, biaya luar biasa itu pada khirnya dibebankan pada konsumen. Masalah-masalah lain berasal dari konteks sosio-kultural.


1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam tugas ini adalah sebagai berikut ;

1. Pengertian apa itu iklan

2. Pengontrolan terhadap iklan

3. Penilaian etis terhadap iklan, dan

4. Contoh kasus

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam pembuatan tugas ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan iklan dalam etika dan estetika

2. Untuk mengetahui cara-cara dalam menjalankan pengontrolan terhadap iklan

3. Untuk mengetahui nilai etis terhadap iklan

4. Contoh kasus yang terjadi untuk mengetahui seberapa besar nilai etis pada iklan tersebut

1.4 Manfaat Penelitian
Bagi penulis dapat mengetahui pengertian iklan, iklan dalam etika dan estetika dan yang lainnya yang menjadi dari rumusan masalah dalam tugas ini serta tugas softskill ke-3 dosen Pak Bonar S. Panjaitan


BAB II

LANDASAN TEORI 

2.1 Pengertian Iklan dalam Etika dan Estetika

Menurut Thomas M. Garret, SJ, iklan dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang lewatnya pesan-pesan visual atau oral disampaikan kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau memengaruhi mereka untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi secara positif terhadap idea-idea, institusi-institusi tau pribadi-pribadi yang terlibat di dalam iklan tersebut. Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dsb). Sehingga iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.

Masalah moral dalam iklan muncul ketika iklan kehilangan nilai-nilai informatifnya, dan menjadi semata-mata bersifat propaganda barang dan jasa demi profit yang semakin tinggi dari para produsen barang dan jasa maupun penyedia jasa iklan. Padahal, sebagaimana juga digarisbawahi oleh Britt, iklan sejak semula tidak bertujuan memperbudak manusia untuk tergantung pada setuap barang dan jasa yang ditawarkan, tetapi justru menjadi tuan atas diri serta uangnya, yang dengan bebas menentukan untuk membeli, menunda atau menolak sama sekali barang dan jasa yang ditawarkan. Hal terakhir ini yang justru menegaskan sekali lagi tesis bahwa iklan bisa menghasilkan keuntungan-keuntungan bagi masyarkat.

2.2 Perkembangan Periklanan di Indonesia

Perkembangan periklanan di Indonesia telah ada sejak lebih dari se abad yang lalu. Iklan yang diciptakan dan dimuat di surat kabar telah ditemukan di surat kabar “Tjahaja Sijang” yang terbit di Manado pada tahun 1869. Surat kabar tersebut terbit sebulan sekali setebal 8 halaman dengan 4 halaman ekstra. Iklan-iklan yang tercantum di surat kabar tersebut bukan hanya dari perusahaan / produsen, tetapi juga dari individu yang mencantumkan iklan untuk kepentingan pribadi.

Di tempat lain juga telah ada kegiatan periklanan melalui surat kabar, yaitu di Semarang pada tahun 1864. Surat kabar “De Locomotief yang beredar setiap hari telah memuat iklan hotel / penginapan di kota Paris. Iklan di kedua surat kabar ini masih didominasi oleh tulisan dan belum bergambar, karena kesulitan teknis cetak pada saat itu.Dalam perkembangannya, setiap surat kabar yang terbit kemudian, juga mencantumkan iklan sebagai sarana memperoleh penghasilan guna membiayai ongkos cetaknya

2.3 Fungsi Periklanan

Iklan sebagai pemberi informasi

Sehubungan dengan iklan sebagai pemberi informasi yang benar kepada konsumen, ada 3 pihak yang terlibat dan bertanggung jawab secara moral atas informasi yang disampaikan sebuah iklan:

· Produsen yang memiliki produk tersebut

· Biro iklan yang mengemas iklan dalam segala dimensinya: etis, estetik, informatif dan sebagainya.

· Bintang iklan

Perkembangan dimasa yang akan datang, iklan informatif akan lebih digemari, karena:

· Masyarakat semakin kritis dan tidak lagi mudah dibohongi atau bahkan ditipu oleh iklan-iklan yang tidak mengukapkan kenyataan secara sebenarnya

· Masyarakat sudah bosan atau muak dengan berbagai iklan yang hanya melebih-lebihkan suatu produk

· Peran Lembaga Konsumen yang semakin gencar memberi informasi yang benar dan akurat kepada konsumen menjadi tantangan serius bagi iklan.


2.3 Prinsip-prinsip moral yang perlu dalam iklan
Prinsip – Prinsip moral yang perlu dalam iklan

Terdapat paling kurang 3 prinsip moral yang bisa dikemukakan di sini sehubungan dengan penggagasan mengenai etika dalam iklan.

Ketiga prinsip itu adalah

 masalah kejujuran dalam iklan,

 masalah martabat manusia sebagai pribadi, dan

 tanggung jawab sosial yang mesti diemban oleh iklan.

Ketiga prinsip moral yang juga digaris bawahi oleh dokumen yang dikeluarkan dewan kepuasan bidang komunikasi sosial untuk masalah etika dalam iklan ini kemudian akan didialogkan dengan pandangan Thomas M. Gerrett, SJ yang secara khusus menggagas prinsip-prinsip etika dalam mempengaruhi massa (bagi iklan) dan prinsip-prinsip etis konsumsi (bagi konsumen). Dengan demikian, uraian berikut ini akan merupakan “perkawinan” antara kedua pemikiran tersebut.

1. Prinsip Kejujuran

Prinsip ini berhubungan dengan kenyataan bahwa bahasa penyimbol iklan seringkali dilebih-lebihkan, sehingga bukannya menyajikan informasi mengenai persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, tetapi mempengaruhi bahkan menciptakan kebutuhan baru. Maka yang ditekankan di sini adalah bahwa isi iklan yang dikomunikasikan haruslah sungguh-sungguh menyatakan realitas sebenarnya dari produksi barang dan jasa. Sementara yang dihindari di sini, sebagai konsekuensi logis, adalah upaya manipulasi dengan motif apa pun juga.

2. Prinsip Martabat Manusia sebagai Pribadi

Bahwa iklan semestinya menghormati martabat manusia sebagai pribadi semakin ditegaskan dewasa ini sebagai semacam tuntutn imperatif (imperative requirement). Iklan semestinya menghormati hak dan tanggung jawab setiap orang dalam memilih secara bertanggung jawab barang dan jasa yang ia butuhkan. Ini berhubungan dengan dimensi kebebasan yang justeru menjadi salah satu sifat hakiki dari martabat manusia sebagai pribadi. Maka berhadapan dengan iklan yang dikemas secanggih apa pun, setiap orang seharusnya bisa dengan bebas dan bertanggung jawab memilih untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Yang banyak kali terjadi adalah manusia seakan-akan dideterminir untuk memilih barang dan jasa yang diiklankan, hal yang membuat manusia jatuh ke dalam sebuah keniscayaan pilihan. Keadaan ini bisa terjadi karena kebanyakan iklan dewasa ini dikemas sebegitu rupa sehingga menyaksikan, mendengar atau membacanya segera membangkitkan “nafsu” untuk memiliki barang dan jasa yang ditawarkan (lust), kebanggaan bahwa memiliki barang dan jasa tertentu menentukan status sosial dalam masyarkat, dll.



3. Iklan dan Tanggung Jawab Sosial

Meskipun sudah dikritik di atas, bahwa iklan harus menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru karena perananya yang utama selaku media informasi mengenai kelangkaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia, namun dalam kenyataannya sulit dihindari bahwa iklan meningkatkan konsumsi masyarakat. Artinya bahwa karena iklan manusia “menumpuk” barang dan jasa pemuas kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer. Penumpukan barang dan jasa pada orang atau golongan masyarkat tertentu ini disebut sebagai surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan. Menyedihkan bahwa surplus ini hanya dialami oleh sebagai kecil masyarakat. Bahwa sebagian kecil masyarakat ini, meskipun sudah hidup dalam kelimpahan, toh terus memperluas batasa kebutuhan dasarnya, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kemiskinan.

Di sinilah kemudian dikembangkan ide solidaritas sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial dari iklan. Berhadapan dengan surplus barang dan jasa pemuas kebutuhan manusia, dua hal berikut pantas dipraktekkan. Pertama, surplus barang dan jasa seharusnya disumbangkan sebagai derma kepada orang miskin atau lembaga/institusi sosial yang berkarya untuk kebaikan masyarakat pada umumnya (gereja, mesjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dll). Tindakan karitatif semacam ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kehidupan cultural masyarakat akan semakin berkembang. Kedua, menghidupi secara seimbang pemenuhan kebutuhan fisik, biologis, psikologis, dan spiritual dengan perhatian akan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Perhatian terhadap hal terakhir ini bisa diwujudnyatakan lewat kesadaran membayar pajak ataupun dalam bentuk investasi-investasi, yang tujuan utamanya adalah kesejahteraan sebagian besar masyarakat.


BAB III

METODE PENELITIAN


3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah :

Contoh iklan dalam etika dan estetika

3.2 Data yang Digunakan

Data yang digunakan oleh penulis :

Data Sekunder berupa data kualitatif, yaitu dengan mencari data-data tentang iklan dalam etika dan estetika


BAB VI

PEMBAHASAN



4.1 Pengontrolan terhadap iklan

Karena kemungkinan dipermainkannya kebenarannya dan terjadinya manipulasi merupakan hal-hal rawan dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pada umumnya, dikatakan bahwa pengontrolan seperti itu terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini :

1. Kontrol oleh pemerintah

Disini terletak suatu tugas penting bagi pemerintah, yang harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Mungkin dalam hal ini bisa kita belajar dari Amerika Serikat. Tidak ada lagi negara lain dimana praktek periklanan begitu mau dan begitu insentif, namun disitu pun ada instansi-instansi pemerintah yang mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan terutama Federal Trade Commission. Komisi terakhir ini bisa memaksakan perusahaan untuk meralat iklan-iklan yang menyesatkan.

2. Kontrol oleh para pengiklan

Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri oleh dunia periklanan. Biasanya hal itu dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah noma dan pedoman yang disetujui oleh profesi periklanan itu sendiri, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Di Indonesia kita memiliki Tata krama dan tata cara periklanan indonesia yang disempurmakan (1996) yang dikelurkan oleh AMLI ( Asosiasi Perusahaan Media Luar Angkasa Indonesia ), ASPINDO ( Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia ), GPBSI ( Gabungan Perusahaan Biokop Seluruh Indonesia ), PPPI ( Ppersatuan Perusahaan Periklanan Indonesia ), PRSSNI ( Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia ), SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar ), dan yayasan TVRI ( Yayasan Televisi Republik Indonesia )

3. Kontrol oleh masyarakat

Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dalam hal ini suatu cara yang terbukti membawa banyak hasil

Dalam menetralisir efek-efek negatif dari periklanan adalah mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen yang sudah lama dikenal di negara-negara maju

4.2 Penilaian etis terhadap iklan

Refleksi tentang maslah-masalah eits disekitar praktek perklanan merupakan contoh bagus mengenia kompleksitas pemikiran moral. Disini prinsip etis memang peting, tapi tersedia prinsip-prinsip etis ternyata tidak cukup untuk menilai moralitas sebuah iklan. Ada empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, jika kita ingi membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan ; maksud si pengiklan,isi iklan, keadaan publik yang tertuju, dan kebiasaan dibidang periklanan.

1. Maksud si pengiklan

Apa yang dimakud dengan si pengiklan ? jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika si pengiklan tahu bahwa produk yang diiklankan merugikan, konsumen atau dengan sengaja ia menjelekkan produk dari pesaing, iklan itu menjadi tidak etis. Banyak contoh yangh sudah disebut sebelumnya, dapat ditempatkan juga dalam konteks ini. Sebuah contoh baru adalah iklan tentang roti profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merek lain.

2. Isi iklan

Juga menurut isinya iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan, seperti misalnya iklan tentang obat ditelevisi yang pura-pura ditayangkan oleh tenaga medis yang menggunakan baju putih dan stetoskop. Iklan tidak menjadi etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu, informasinya tidak perlu selengkap dan subyektif seperti laporan dari instansi netral. Iklan tentang hal yang tidak bermoral, dengan sendirinya menjadi tidak etis. Misalnya, ikla yang menawarkan jasa seseorang sebagaipembunuh sewaan atau iklan tentang lelang berlian. Iklan semacam itu tidak ragu-ragu akan ditolak secara umum.

3. Keadan publik yang tertuju

Dalam uraian etika tentang konsumen, kita sudah berkenalan dengan pepatah camveat emptor, “ Hendaklah si pembeli berhati-hati. Sikap berhati-hati sebelum membeli memang merupakan sikap dasar bagi calon pembeli. Demikian juga dalam konteks periklanan. Publik sebaliknya mempunyai skepsis yang sehat terhadap usaha persuasi dari periklanan. Penggunaan periklanan harus diimbangi dengan sikap kritis publik. Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau asa yang diiklankan. Dalam setiap masyarakat terdapat orang naif, tapi janganlah mereka diambil sebagai patokan untuk menilai moralitas periklanan. Namun demikian, perlu diakui juga bahwa mutu pabrik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu haus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju.

4. Kebiasaan dibidang periklanan

Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Sudah ada aturan main yang disepakati secara implisit atau eksplisit dan yang sering kali tidak dapat dipisahkan dari etos yang menandai masyarakat itu.

4.3 Contoh Kasus iklan yang tidak etis

Kalau permirsa TvV-RCTI memperhatikan siaran-siaran iklan-iklannya, ada salah satu minyak goreng yang bunyinya kurang lebih : “ bila ibu ingin minyak goreng yang murni, jernih, lezat, sehat, gunakan akal sehat, pilihlah Filma, Filma membuat makanan lebih sehat dan lezat”.

Jadi dengan kata lain, ibu-iu yang tidak memakai minyak goreng Filma berarti tidak menggunakan akal sehat alias akalnya tidak sehat. Bukankah ini kurang / tidak etis ? seyugyanya pihak RCTI pun lebih berhati-hati dalam menyiarkan iklan yang kata-katanya kurang tepat


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dalam periklanan seharusnya lebih menggunakan bahasa-bahasa yang lebih baik lagi, karena itu bisa menjadi pro-kontra tersendiri di masyarakat. Maka dalam periklanan diperlukan adanya pengontrolan dari berbagai pihak.



5.2 Saran

Seharusnya bagi para pelaku bisnis harus lebih bisa mengacu pada etika dan estetika yang berlaku pada iklan dan tidak mementingkan keuntungan yang di dapat semata tanpa memperdulikan efek bagi masyarakat luas dari berbagai kalangan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar